Sabtu, 13 April 2013

ZAKAT DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT ISLAM


ZAKAT DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT ISLAM
Oleh :
Mohammad Fathi Rabbani
Ekis 2
Mahasiswa Institut Studi Islam Darussalam Gontor Kampus Siman

ABSTRAK
 Zakat sebagai sarana distribusi pendapatan dan pemerataan ekonomi, serta sarana berbuat kebajikan bagi kepentingan masyarakat menduduki peran penting dalam perekonomian masyakat secara umum maupun kalangan Muslim, karenanya menarik untuk dikaji kembali sebagai salah satu potensi dana umat yan sangat besar guna memecahkan berbagai masalah sosial masyarakat.
Ekonomi Islam adalah kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari Al-Qur’an, Sunnah, dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar-dasar pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu, sejalan dengan pendapat Dr. Muhammad Syauki Al-Fanjari “ekonomi Islam adalah segala sesuatu yang mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok Islam dan politik ekonominya”.
Kata kunci       : Ekonomi Islam, Zakat, Pemberdayaan.


A.    PENDAHULUAN
Masalah zakat ini adalah masalah klasik yang selalu menjadi impian setiap orang muslim untuk mewujudkan keadilan sosial bagi kelompok miskin dan lemah. Namun dalam kerangka teoritis, zakat dapat menjelma menjadi suatu alur pemikiran yang mewujudkan kesejahteraan sosial. Walaupun pada sisi empirisnya, zakat hanyalah angan-angan yang tak pernah terwujud untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini dalam ajaran Plato yang dapat dipetik beberapa kesimpulan yang diantaranya adalah : Bahwa di dunia ini ada kecenderungan siklus hidup, segala sesuatunya tidak abadi.
Kaitannya dengan zakat dalam perspektif ekonomi adalah suatu potensi yang selama ini dilaksanakan oleh masyarakat, sejak masuknya agama Islam. Tetapi sangatlah dipertanyakan bahwa potensi zakat sebagai sarana distribusi pendapatan dan pemerataaan ekonomi, serta sarana berbuat kebajikan bagi kepentingan masyarakat belumlah dikelola dan didayagunakan secara maksimal dalam ruang lingkup daerah. Padahal jika potensi zakat ini dikelola dengan baik tentu akan dapat membawa dampak besar dalam kehidupan ekonomi masyarakat, terutama dalam upaya mengentaskan kemiskinan.[1]
Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah konsep zakat dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi mayarakat Islam, mengingat banyak kalangan yang belum sepenuhnya melirik potensi besar dari zakat sebagai sebuah harta karun. Kenyataan di lapangan banyak orang yang belum sesungguh hati mengelola zakat sebagai sumber perekonomian masyarakat terutama masyarakat Islam itu sendiri. Karena itu perlu penataan kembali badan atau unit yang mengelola hal ini.
B.     KONSEP EKONOMI ISLAM
Sebagai sebuah agama, Islam senantiasa memberikan pijakan dan tuntutan yang jelas dan mengikat kepada umatnya. Islam secara universal mengarahkan bagaimana umatnya mampu memadukan dalam dirinya kesadaran trasendental dalam bentuk peribadatan kepada Allah SWT dan bagaimana ia mampu mengimplementasikan kesadaran sosial dalam bentuk aktualisasi ajaran pokok Islam dalam kehidupan sehari-hari. Entah itu masalah agama, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya.
Dalam memberikan batasan atau definisi tentang ekonomi, lebih khusus ekonomi Islam, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para sarjana dalam mengkategorikan ekonomi Islam, baik sebagai ilmu atau sebagai sistem. Sebelum mendefinisikan ilmu ekonomi Islam, kita harus memahami terlebih dahulu pengertian ekonomi secara populer dikalangan ahli ekonomi konvensional, karena istilah ekonomi itu sendiri adalah suatu hal baru dalam Islam, walaupun substansi kajian ekonomi sudah ada dan sudah teraplikasi dalam ajaran Islam.
C.    PANDANGAN BEBERAPA AHLI TENTANG EKONOMI ISLAM
Menurut Fuad Fachruddin dan Heri Sudarsono, dalam Al-Qur’an ekonomi Islam diidentifikasikan dengan iqtishad yang artinya umat yang pertengahan atau bisa diartikan menggunakan rezeki yang ada disekitar kita dengan cara berhemat agar kita menjadi manusia-manusia yang baik dan tidak merusak nikmat apapun yang diberikan kepadanya[2]. Dari sini bisa dinyatakan bahwa nama ekonomi Islam bukan nama buku dalam terminologi Islam, tidak ada peraturan atau undang-undang yang menyatakan harus bernama ekonomi Islam. Sehingga bisa saja orang mengatakan “ekonomi illahinya”, “ekonomi syariah”, “ekonomi qur’ani” ataupun hanya “ekonomi” saja. Nama ekonomi Islam lebih populer dikarenakan masyarakat lebih mudah mengidentifikasi nama Islam dimana nama tersebut lebih “familiar” dengan masalah sehari-hari.
Nama ekonomi Islam dipengaruhi oleh penafsiran kita terhadap praktek ekonomi Islam yang kita temukan. Bila pengalaman ekonomi Islam berkaitan dengan aturan-aturan tentang perintah dan larangannya, maka makna ekonomi Islam lebih banyak berkaitan norma. Hal ini akan membangun pengertian bahwa ekonomi Islam sebagai ilmu normatif.[3]
Bila pengalaman yang kita temukan banyak berkaitan tentang persoalan aktual, misalnya praktek bank dan lembaga keuangan syariah dan sebagainya maka menghasilkan makna nama ekonomi Islam yang berbeda.
Adapun secara terminologi, menurut Abdullah Abdul Husain At-Tariqi para pakar ekonomi Islam mendefinisikan “Ekonomi Islam” dengan sedikit berbeda, antara lain :
1.    Dr. Muhammad Bin Abdullah Al Arobi mendefinisikan bahwa ekonomi Islam adalah kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari Al-Qur’an, Sunnah, dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar-dasar pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.[4]
2.    Dr. Muhammad Syauki Al-Fanjari mendefinisikan bahwa ekonomi Islam adalah segala sesuatu yang mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok Islam dan politik ekonominya.[5]
3.    Dengan posisinya yang merupakan cabang dari ilmu fiqih, maka kami mendefinisikan bahwa : ekonomi Islam adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat apliktip yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci tentang persoalan yang terkait dengan mencari, membelanjakan, dan cara-cara mengembangkan harga.[6]
Abdullah Abdul Husain At-Tariqi menjelaskan ekonomi Islam bukan merupakan bagian ilmu tentang keyakinan, namun umumnya merupakan asumsi-asumsi, karena posisinya yang menjadi bagian dari hasil pengambilan dalil-dalil umum tentang ekonomi, hadis-hadis ahad standar perkiraan atau sejenisnya. Walaupun begitu, perkiraan ini haruslah diamalkan sebagaimana dalil yang qat’i. pengamalannya juga dikategorikan sebagai ilmu.[7]
Mengenai bahan ekonomi Islam sebagai ilmu, Arkhom Khan sebagaimana yang dikutip oleh Heri Sudarsono dalam bukunya Konsep Ekonomi Islam menjelaskan, ekonomi Islam berarti juga metode mengakomodasi berbagai faktor ekonomi dengan melibatkan seluruh manusia yang mempunyai potensi yang berbeda guna melibatkan sumberdaya ekonomi yang ada di bumi. Ilmu ekonomi memustakan studi tentang kesejahteraan manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya atas dasar kerjasama dan partisipasi.
Pengembangan ekonomi Islam adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Langkah ini oleh beberapa ahli ilmu ke-Islaman ditempuh melalui upaya pemantapan dan pemberdayaan masyarakat melalui reaktualisasi fungsi zakat.[8]
Pada prinsipnya para ahli / ulama Islam melihat ekonomi Islam tidak hanya berfungsi sebagai sebuah ritual sosial serta bagaimana mengatur manusia dalam mencapai kesejahteraan bersama tetapi juga sebagai sebuah ilmu. Ilmu menurut kami sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhammad adalah pengetahuan yang tersusun secara logis dan sistematis serta telah teruji kebenarannya. Dan dalam Islam, menurut ilmu adalah kewajiban baik bagi laki-laki maupun perempuan.
D.    PRINSIP DASAR SISTEM EKONOMI ISLAM
Tidak dapat dipungkiri oleh siapapun yang dapat berfikir jernih dan logis, bahwa Islam merupakan sistem hidup. Sebagai suatu pedoman hidup, ajaran Islam yang terdiri atas aturan-aturan mencakup keseluruhan sisi kehidupan manusia. Secara garis besar aturan-aturan tersebut dibagi dalam tiga bagian, yaitu : aqidah, akhlak dan syari’ah yang terdiri atas bidang muamalah (sosial), dan bidang ibadah (ritual).[9]
Menurut KH Abdullah Zaky Al-Koap prinsip pokok ekonomi Islam terbagi atas lima hal penting, yaitu :
1.      Kewajiban Berusaha
Islam tidak mengizinkan umatnya menjauhkan diri dari pencaharian kehidupan dan hidup hanya dari pemberian orang. Tidak ada dalam masyarakat Islam, orang-orang yang sifatnya non-produktif (tidak menghasilkan) dan hidup secara parasit yang menyandarkan nasibnya kepada orang lain.
2.      Membasmi Pengangguran
Kewajiban setiap individu adalah bekerja, sedangkan negara diwajibkan menjalankan usaha membasmi pengangguran. Tidak boleh ada pengangguran.
3.      Mengakui Hak Milik
Berbeda dengan paham komunis, Islam senantiasa mengakui hak milik perseorangan berdasarkan pada tenaga dan pekerjaan, baik dari hasil sendiri ataupun yang diterimanya sebagai harta warisan. Selain dari keduanya tidak boleh diambil dari hak miliknya kecuali atas keridhaan pemiliknya sendiri.
4.      Kesejahteraan agama dan sosial
Menundukkan ekonomi dibawah hukum kepentingan masyarakat merupakan suatu prinsip yang sangat penting masa kini. Prinsip ini ditengok oleh Islam dengan suatu instruksi dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai kepala Negara Islam. Yang diantaranya adalah kewajiban untuk mengambil zakat kepada kaum muslimin.
5.      Beriman kepada Allah SWT
Pokok pendirian terakhir ialah soal ketuhanan. Mengimankan ketuhanan dalam ekonomi berarti kemakmuran yang diwujudkan tidak boleh dilepaskan dari keyakinan kutuhanan. Sewajarnya urusan ekonomi jangan melalaikan kewajiban kepada Allah SWT, harus menimbulkan cinta kepada Allah SWT, menafkahkan harta untuk meninggikan syi’ar Islam dan mengorbankan harta untuk berjihad dijalan Allah SWT,[10]
E.     PENGERTIAN ZAKAT
Secara etimologi (bahasa) kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari (ﺍﻠﺰﻜﺎﺓ) . Zakat yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan berkembang, dan seseorang itu zaka, berarti orang itu baik, ditinjau dari sudut bahasa, adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji : semua digunakan dalam qur’an dan hadis. Kata dasar zakat berarti bertambah dan tumbuh, sehingga bisa dikatakan, tanaman itu zaka, artinya tumbuh, sedang setiap sesuatu yang bertambah disebut zaka artinya bertambah. Bila satu tanaman tumbuh tanpa cacat, maka kata zakat disini berarti bersih.[11]
Dalam terminologi fikih, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak, disamping berarti mengeluarkan sejumlah itu sendiri demikian Qardhawi mengutip pendapat Zamakhsari. Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti, dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan. Sedangkan menurut terminology syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syariat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.[12]
Hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dan pengertian menurut istilah sangat nyata dan erat kekali. Bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjdi berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah suci dan bersih (baik).
F.     PANDANGAN BEBERAPA ULAMA TENTANG ZAKAT
Para ulama fiqih, memiliki pemahaman yang sangat beragam tentang masalah zakat. Diantaranya adalah sebagaimana dibawah ini :
Menurut Didin Hafidhuddin zakat secara termologi adalah mengeluarkan sebagian harta dengan persyaratan tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu (mustahik) dengan syarat-syarat tertentu pula.
Wahbah Zuhaili dalam karyanya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu sebagaimana yang dikutip oleh Suyitno dalam buku Anatomi Fiqih Zakat mendefinisikan zakat dari sudut empat Imam Mazhab, yaitu :
1)      Madzhab Maliki, zakat adalah mengeluarkan sebagian yang tertentu dari harta yang tertentu pula yang sudah mencapai nishab (batas jumlah yang mewajibkan zakat) kepada orang yang berhak menerimanya, manakalah kepemilikan itu penuh dan sudah mencapai haul (setahun) selain barang tambang dan pertanian;
2)      Madzhab Hanafi berpandangan bahwa zakat adalah menjadikan kadar tertentu dari harta tertentu pula sebagai hak milik yang sudah ditentukan oleh pembuat syari’at semata-mata karena Allah SWT;
3)      Menurut Madzhab Syafi’i, zakat adalah nama untuk kadar yang dikeluarkan dari harta atau benda dengan cara-cara tertentu.
4)      Madzhab Hambali memberikan definisi zakat sebagai hak (kadar tertentu) yang diwajibkan untuk dikeluarkan dari harta tertentu untuk golongan yang tertentu dalam waktu yang tertentu pula.
5)      Dalam Kifayatul Akhyar dijelaskan nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberi kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
6)      Menurut Al-Syarkoni seperti yang dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy, mengatakan bahwa zakat adalah memberikan sebagian harta yang cukup nisab kepada orang fakir dan sebagainya yang tidak berhalangan secara syara’.[13]
Secara umum, dapat dipahami bahwa zakat adalah penyerahan atau penunaian hak dan kewajiban yang terdapat dalam harta untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya sebagaimana yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60.
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
60.  Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
G. ZAKAT SEBAGAI PEMBERDAYA EKONOMI UMMAT
Zakat merupakan sesuatu yang tidak asing lagi terdengar di telinga kita sebagai masyarakat muslim, bahkan zakat  tersebut merupakan sesuatu yang sakral dan wajib diaplikasikan bagi setiap masyarakat muslim yang mampu. Setiap 2,5 % (minimalnya) dari harta yang dimiliki setiap orang mampu (kaya) wajib dikeluarkan kepada yang membutuhkan, karena di 2,5 % itu bukan hak dari si pemilik harta. Harta tersebut merupakan hak bagi masyarakat yang membutuhkan. Zakat tersebut bisa merupakan zakat yang dapat dikonsumsi langsung (Zakat Konsumtif) maupun Zakat yang tidak berhenti di konsumsi, tetapi justru Zakat yang berbentuk investasi dan terus diproduksi (Zakat Produktif). Yaitu berupa pendidikan bagi anak yang kurang mampu, penyuluhan-penyuluhan di daerah miskin, pemberian modal usaha bagi si penerima zakat, dll.
 Ternyata, tidak salah bahwa Islam telah mensyari’atkan Zakat bagi umatnya yang mampu untuk dilaksanakan. Faktanya, zakat sangat berperan bagi pembangunan ekonomi masyarakat  modern ini. Disamping itu pula, zakat sangat berperan terhadap distribusi kesejahteraan masyarakat.[14] Distribusi kesejahteraan masyarakat tersebut dapat digambarkan melalui Equilibrium (Keseimbangan) Pasar.
Ditinjau dari fungsinya, Zakat memiliki 2 peran yang sangat penting :
a.       Zakat berfungsi untuk mengurangi tingkat pendapatan yang siap dikonsumsi oleh segmen orang kaya (muzakky). Oleh karena itu, pengimplementasian zakat diharapkan akan mampu mengerem tingkat konsumsinya orang kaya sehingga kurva permintaan segmen kaya tidak terlalu meningkat terlalu tajam. Hal ini pada akhirnya akan memiliki dampak positif, yaitu menurunnya  dampak atas peningkatan harga-harga komoditas.
b.      Zakat berfungsi sebagai media transfer pendapatan sehingga mampu meningkatkan daya beli orang miskin. Dalam hal ini diharapkan dengan menerima zakat, maka segmen miskin akan meningkatkan daya belinya  sehingga mampu berinteraksi dengan segmen kaya.[15]  
   Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah zakat konsumtif akan menumbuhkan perekonomian ? Apakah zakat konsumtif akan menimbulkan dampak yang leih baik dibanding zakat produktif  ?  Mari kita lihat dasar analisis berikut.
          Pembayaran Zakat pada tahap pertama akan menurunkan permintaan orang kaya dari DH1 menuju DH2. Turunnya permintaan ini akan diterima oleh orang miskin sehingga akan berpengaruh terhadap pasar segmen miskin. Jika zakat diterima dalam bentuk barang konsumsi, maka permintaan permintaan orang miskin akan  dari Ds1 menuju Ds2 sehingga akan mendorong harga di segmen meningkat. Namun, jika zakat diterima dalam bentuk modal kerja atau produktif, maka penawaran segmen miskin akan meningkat dari Ss1 menuju Ss2. Jumlah permintaan segmen kecil akan meningkat lebih kecil namun diikuti oleh harga yang menurun. Dari gambaran ini dapat disimpulkan bahwa zakat konsumtif aupun zakat produktif akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian selama penurunan permintaan segmen kaya (XH1-XH2) akan diimbangi oleh peningkatan volume perdagangan segmen miskin(Xs3-Xs0) yang lebih besar Hal ini dipengarui oleh :
1.      Kepekaan konsumen miskin terhadap harga barang. Semakin konsumen miskin peka atau elastis terhadap harga, maka zakat produktif akan memiliki dampak inflasioner lebih rendah dan peningkatan output lebih tinggi daripada zakat konsumtif.
2.      Hubungan antara harga dan penjualansegmen miskin. Semakin elastis penawaran segmen miskin, maka semakin tinggi efek zakat konsumtif terhadap penigkatan output daripada zakat produktif.
3.      Hasrat untuk konsumsi segmen miskin. Hasrat ini menunjukkan seberapa besar bagian pendpatan yang akan dikonsumsi dan bisa dicerminkan dari nilai elastisitas permintaan terhadap pendapatan. Semakin elastis permintaan terhadap pendapatan berarti tambahan pendapatan segmen miskin akan dihabiskan untuk konsumsi, dan hal ini semakin meningkatkan besarnya efek zakat konsumtif.
Dari gambaran ini, tidak selalu zakat produktif memiliki efek terhadap perekonomian yang lebih baik, hal ini terutama dipengaruhi oleh perilaku ekonomi masyarakat mustahiq.[16]



 

                       
G.    KESIMPULAN
Secara umum umat Islam mengharapkan agar pelaksanaan zakat dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya berdasarkan syari’at Islam. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah termasuk ulama dan ilmuwan agar implementasi zakat terlaksana.
Untuk itu sebenarnya konsep operasional penerapan zakat, dapat dijadikan contoh dan terus dikembangkan pada masa sekarang, serta diaktualisasikan sesuai dengan pertumbuhan dan tuntutan masyarakat.
Dengan memberdayakan zakat secara optimal (mulai dari pemetaan data muzakki, pencatatan muzakki, pengumpulan dana/benda zakat, pendistribusian dana/benda zakat, pemetaan dan pencatatan penerima zakat) yang selalu diupdate, insya Allah masalah perekonomian khususnya tentang kemiskinan finansial masyarakat kita akan mendapat enjeksi solutif, sehingga kita akan melihat lahirnya masyarakat yang sejahtera dari sisi ekonomi.



DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Ensklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, Jakarta, Peradnyo Paramita, Tahun 1991.
Ariswanto, Buku Pintar Teori Ekonomi, Jakarta : Penerbit Aribu Mitra Mandiri, Tahun 1997.
http://www.salafy.or.id
Husain, Abdullah, Abdul At-Tariqi, Ekonomi Islam Prinsip Dasar dan Tujuan, Yogyakarta, Magistra Insania Press, Tahun 2004.
Wahba Al-Zahayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung PT Remaja Rosda Karya Tahun 1997.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, Jakarta, PT Rajawali Pers, 2009.
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, Tahun 2004.




[1] Ariswanto, Buku Pintar Teori Ekonomi, Jakarta : Penerbit Aribu Mitra Mandiri, Tahun 1997. Hal : 35

[2] Abdurrahman, Ensklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, Jakarta, Peradnyo Paramita, Tahun 1991. Hal : 14

[3] Ariswanto, Buku Pintar Teori Ekonomi, Jakarta : Penerbit Aribu Mitra Mandiri, Tahun 1997. Hal : 40

[4] Abdullah Abdul At-Tariqi Husain, Ekonomi Islam Prinsip Dasar dan Tujuan, Yogyakarta, Magistra Insania Press, Tahun 2004. Hal : 20
[5]  Ibid, Hal : 21
[6]  Ibid, Hal : 23
[7]  Ibid, Hal : 27
[8] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, Tahun 2004. Hal : 15

[9] Abdullah Abdul At-Tariqi Husain, Ekonomi Islam Prinsip Dasar dan Tujuan, Yogyakarta, Magistra Insania Press, Tahun 2004. Hal : 7

[10] Ibid, Hal : 30 
[11] Sumber : http://www.salafy.or.id
[12] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, Tahun 2004. Hal : 21

[13] Wahba Al-Zahayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung PT Remaja Rosda Karya Tahun 1997. Hal : 29-31

[14] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, Jakarta, PT Rajawali Pers, 2009. Hal : 404
[15] Ibid, Hal : 405
[16] Ibid, Hal; 407-408

0 komentar:

Posting Komentar