ZAKAT DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT ISLAM
Oleh
:
Mohammad
Fathi Rabbani
Ekis
2
Mahasiswa Institut Studi Islam Darussalam Gontor Kampus Siman
ABSTRAK
Zakat
sebagai sarana distribusi pendapatan dan pemerataan ekonomi, serta sarana
berbuat kebajikan bagi kepentingan masyarakat menduduki peran penting dalam
perekonomian masyakat secara umum maupun kalangan Muslim, karenanya menarik
untuk dikaji kembali sebagai salah satu potensi dana umat yan sangat besar guna
memecahkan berbagai masalah sosial masyarakat.
Ekonomi Islam adalah
kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari Al-Qur’an,
Sunnah, dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar-dasar pokok itu dengan
mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu, sejalan dengan pendapat Dr.
Muhammad Syauki Al-Fanjari “ekonomi Islam adalah segala sesuatu yang
mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok Islam dan
politik ekonominya”.
Kata kunci
: Ekonomi Islam, Zakat, Pemberdayaan.
Masalah zakat ini adalah
masalah klasik yang selalu menjadi impian setiap orang muslim untuk mewujudkan
keadilan sosial bagi kelompok miskin dan lemah. Namun dalam kerangka teoritis,
zakat dapat menjelma menjadi suatu alur pemikiran yang mewujudkan kesejahteraan
sosial. Walaupun pada sisi empirisnya, zakat hanyalah angan-angan yang tak
pernah terwujud untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini dalam ajaran Plato
yang dapat dipetik beberapa kesimpulan yang diantaranya adalah : Bahwa di dunia
ini ada kecenderungan siklus hidup, segala sesuatunya tidak abadi.
Kaitannya dengan zakat
dalam perspektif ekonomi adalah suatu potensi yang selama ini dilaksanakan oleh
masyarakat, sejak masuknya agama Islam. Tetapi sangatlah dipertanyakan bahwa
potensi zakat sebagai sarana distribusi pendapatan dan pemerataaan ekonomi,
serta sarana berbuat kebajikan bagi kepentingan masyarakat belumlah dikelola
dan didayagunakan secara maksimal dalam ruang lingkup daerah. Padahal jika
potensi zakat ini dikelola dengan baik tentu akan dapat membawa dampak besar
dalam kehidupan ekonomi masyarakat, terutama dalam upaya mengentaskan
kemiskinan.[1]
Permasalahan yang diangkat
dalam tulisan ini adalah konsep zakat dalam kaitannya dengan pemberdayaan
ekonomi mayarakat Islam, mengingat banyak kalangan yang belum sepenuhnya
melirik potensi besar dari zakat sebagai sebuah harta karun. Kenyataan di
lapangan banyak orang yang belum sesungguh hati mengelola zakat sebagai sumber
perekonomian masyarakat terutama masyarakat Islam itu sendiri. Karena itu perlu
penataan kembali badan atau unit yang mengelola hal ini.
B.
KONSEP EKONOMI ISLAM
Sebagai sebuah agama,
Islam senantiasa memberikan pijakan dan tuntutan yang jelas dan mengikat kepada
umatnya. Islam secara universal mengarahkan bagaimana umatnya mampu memadukan
dalam dirinya kesadaran trasendental dalam bentuk peribadatan kepada Allah SWT
dan bagaimana ia mampu mengimplementasikan kesadaran sosial dalam bentuk
aktualisasi ajaran pokok Islam dalam kehidupan sehari-hari. Entah itu masalah
agama, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya.
Dalam memberikan batasan
atau definisi tentang ekonomi, lebih khusus ekonomi Islam, terdapat perbedaan
pendapat dikalangan para sarjana dalam mengkategorikan ekonomi Islam, baik
sebagai ilmu atau sebagai sistem. Sebelum mendefinisikan ilmu ekonomi Islam,
kita harus memahami terlebih dahulu pengertian ekonomi secara populer
dikalangan ahli ekonomi konvensional, karena istilah ekonomi itu sendiri adalah
suatu hal baru dalam Islam, walaupun substansi kajian ekonomi sudah ada dan
sudah teraplikasi dalam ajaran Islam.
C.
PANDANGAN BEBERAPA AHLI TENTANG EKONOMI ISLAM
Menurut Fuad Fachruddin dan Heri
Sudarsono, dalam Al-Qur’an ekonomi Islam diidentifikasikan dengan iqtishad yang
artinya umat yang pertengahan atau bisa diartikan menggunakan rezeki yang ada
disekitar kita dengan cara berhemat agar kita menjadi manusia-manusia yang baik
dan tidak merusak nikmat apapun yang diberikan kepadanya[2].
Dari sini bisa dinyatakan bahwa nama ekonomi Islam bukan nama buku dalam
terminologi Islam, tidak ada peraturan atau undang-undang yang menyatakan harus
bernama ekonomi Islam. Sehingga bisa saja orang mengatakan “ekonomi illahinya”,
“ekonomi syariah”, “ekonomi qur’ani” ataupun hanya “ekonomi” saja. Nama ekonomi
Islam lebih populer dikarenakan masyarakat lebih mudah mengidentifikasi nama
Islam dimana nama tersebut lebih “familiar” dengan masalah sehari-hari.
Nama ekonomi Islam
dipengaruhi oleh penafsiran kita terhadap praktek ekonomi Islam yang kita
temukan. Bila pengalaman ekonomi Islam berkaitan dengan aturan-aturan tentang
perintah dan larangannya, maka makna ekonomi Islam lebih banyak berkaitan
norma. Hal ini akan membangun pengertian bahwa ekonomi Islam sebagai ilmu
normatif.[3]
Bila pengalaman yang kita
temukan banyak berkaitan tentang persoalan aktual, misalnya praktek bank dan
lembaga keuangan syariah dan sebagainya maka menghasilkan makna nama ekonomi
Islam yang berbeda.
Adapun secara terminologi,
menurut Abdullah Abdul Husain At-Tariqi para pakar ekonomi Islam mendefinisikan
“Ekonomi Islam” dengan sedikit berbeda, antara lain :
1.
Dr.
Muhammad Bin Abdullah Al Arobi mendefinisikan bahwa ekonomi Islam adalah
kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari Al-Qur’an,
Sunnah, dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar-dasar pokok itu dengan
mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.[4]
2.
Dr.
Muhammad Syauki Al-Fanjari mendefinisikan bahwa ekonomi Islam adalah segala
sesuatu yang mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok
Islam dan politik ekonominya.[5]
3.
Dengan
posisinya yang merupakan cabang dari ilmu fiqih, maka kami mendefinisikan bahwa
: ekonomi Islam adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat apliktip yang diambil
dari dalil-dalilnya yang terperinci tentang persoalan yang terkait dengan
mencari, membelanjakan, dan cara-cara mengembangkan harga.[6]
Abdullah Abdul Husain
At-Tariqi menjelaskan ekonomi Islam bukan merupakan bagian ilmu tentang
keyakinan, namun umumnya merupakan asumsi-asumsi, karena posisinya yang menjadi
bagian dari hasil pengambilan dalil-dalil umum tentang ekonomi, hadis-hadis
ahad standar perkiraan atau sejenisnya. Walaupun begitu, perkiraan ini haruslah
diamalkan sebagaimana dalil yang qat’i. pengamalannya juga dikategorikan
sebagai ilmu.[7]
Mengenai bahan ekonomi
Islam sebagai ilmu, Arkhom Khan sebagaimana yang dikutip oleh Heri Sudarsono
dalam bukunya Konsep Ekonomi Islam menjelaskan, ekonomi Islam berarti juga
metode mengakomodasi berbagai faktor ekonomi dengan melibatkan seluruh manusia
yang mempunyai potensi yang berbeda guna melibatkan sumberdaya ekonomi yang ada
di bumi. Ilmu ekonomi memustakan studi tentang kesejahteraan manusia yang
dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya atas dasar kerjasama dan
partisipasi.
Pengembangan ekonomi Islam
adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Langkah ini oleh beberapa
ahli ilmu ke-Islaman ditempuh melalui upaya pemantapan dan pemberdayaan
masyarakat melalui reaktualisasi fungsi zakat.[8]
Pada prinsipnya para ahli
/ ulama Islam melihat ekonomi Islam tidak hanya berfungsi sebagai sebuah ritual
sosial serta bagaimana mengatur manusia dalam mencapai kesejahteraan bersama
tetapi juga sebagai sebuah ilmu. Ilmu menurut kami sebagaimana yang dijelaskan
oleh Muhammad adalah pengetahuan yang tersusun secara logis dan sistematis
serta telah teruji kebenarannya. Dan dalam Islam, menurut ilmu adalah kewajiban
baik bagi laki-laki maupun perempuan.
D. PRINSIP DASAR
SISTEM EKONOMI ISLAM
Tidak dapat dipungkiri
oleh siapapun yang dapat berfikir jernih dan logis, bahwa Islam merupakan
sistem hidup. Sebagai suatu pedoman hidup, ajaran Islam yang terdiri atas
aturan-aturan mencakup keseluruhan sisi kehidupan manusia. Secara garis besar
aturan-aturan tersebut dibagi dalam tiga bagian, yaitu : aqidah, akhlak dan
syari’ah yang terdiri atas bidang muamalah (sosial), dan bidang ibadah
(ritual).[9]
Menurut KH Abdullah Zaky
Al-Koap prinsip pokok ekonomi Islam terbagi atas lima hal penting, yaitu :
1.
Kewajiban
Berusaha
Islam tidak mengizinkan
umatnya menjauhkan diri dari pencaharian kehidupan dan hidup hanya dari
pemberian orang. Tidak ada dalam masyarakat Islam, orang-orang yang sifatnya
non-produktif (tidak menghasilkan) dan hidup secara parasit yang menyandarkan
nasibnya kepada orang lain.
2.
Membasmi
Pengangguran
Kewajiban setiap individu
adalah bekerja, sedangkan negara diwajibkan menjalankan usaha membasmi
pengangguran. Tidak boleh ada pengangguran.
3.
Mengakui
Hak Milik
Berbeda dengan paham
komunis, Islam senantiasa mengakui hak milik perseorangan berdasarkan pada
tenaga dan pekerjaan, baik dari hasil sendiri ataupun yang diterimanya sebagai
harta warisan. Selain dari keduanya tidak boleh diambil dari hak miliknya
kecuali atas keridhaan pemiliknya sendiri.
4.
Kesejahteraan
agama dan sosial
Menundukkan ekonomi
dibawah hukum kepentingan masyarakat merupakan suatu prinsip yang sangat
penting masa kini. Prinsip ini ditengok oleh Islam dengan suatu instruksi dari
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai kepala Negara Islam. Yang
diantaranya adalah kewajiban untuk mengambil zakat kepada kaum muslimin.
5.
Beriman
kepada Allah SWT
Pokok pendirian terakhir
ialah soal ketuhanan. Mengimankan ketuhanan dalam ekonomi berarti kemakmuran
yang diwujudkan tidak boleh dilepaskan dari keyakinan kutuhanan. Sewajarnya
urusan ekonomi jangan melalaikan kewajiban kepada Allah SWT, harus menimbulkan
cinta kepada Allah SWT, menafkahkan harta untuk meninggikan syi’ar Islam dan
mengorbankan harta untuk berjihad dijalan Allah SWT,[10]
E.
PENGERTIAN ZAKAT
Secara etimologi (bahasa)
kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari (ﺍﻠﺰﻜﺎﺓ) . Zakat yang berarti berkah, tumbuh,
bersih dan baik. Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan berkembang, dan seseorang
itu zaka, berarti orang itu baik, ditinjau dari sudut bahasa, adalah suci,
tumbuh, berkah, dan terpuji : semua digunakan dalam qur’an dan hadis. Kata
dasar zakat berarti bertambah dan tumbuh, sehingga bisa dikatakan, tanaman itu
zaka, artinya tumbuh, sedang setiap sesuatu yang bertambah disebut zaka artinya
bertambah. Bila satu tanaman tumbuh tanpa cacat, maka kata zakat disini berarti
bersih.[11]
Dalam terminologi fikih,
zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada
orang-orang yang berhak, disamping berarti mengeluarkan sejumlah itu sendiri
demikian Qardhawi mengutip pendapat Zamakhsari. Jumlah yang dikeluarkan dari
kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat
lebih berarti, dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan. Sedangkan menurut
terminology syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah
mencapai syariat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan
diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.[12]
Hubungan antara pengertian
zakat menurut bahasa dan pengertian menurut istilah sangat nyata dan erat
kekali. Bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjdi berkah, tumbuh,
berkembang dan bertambah suci dan bersih (baik).
F.
PANDANGAN BEBERAPA ULAMA TENTANG ZAKAT
Para ulama fiqih, memiliki
pemahaman yang sangat beragam tentang masalah zakat. Diantaranya adalah
sebagaimana dibawah ini :
Menurut Didin Hafidhuddin
zakat secara termologi adalah mengeluarkan sebagian harta dengan persyaratan
tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu (mustahik) dengan
syarat-syarat tertentu pula.
Wahbah Zuhaili dalam
karyanya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu sebagaimana yang dikutip oleh Suyitno
dalam buku Anatomi Fiqih Zakat mendefinisikan zakat dari sudut empat Imam
Mazhab, yaitu :
1)
Madzhab Maliki, zakat adalah mengeluarkan sebagian yang tertentu dari harta
yang tertentu pula yang sudah mencapai nishab (batas jumlah yang mewajibkan
zakat) kepada orang yang berhak menerimanya, manakalah kepemilikan itu penuh
dan sudah mencapai haul (setahun) selain barang tambang dan pertanian;
2)
Madzhab Hanafi berpandangan bahwa zakat adalah menjadikan kadar tertentu dari
harta tertentu pula sebagai hak milik yang sudah ditentukan oleh pembuat
syari’at semata-mata karena Allah SWT;
3)
Menurut Madzhab Syafi’i, zakat adalah nama untuk kadar yang dikeluarkan dari
harta atau benda dengan cara-cara tertentu.
4)
Madzhab Hambali memberikan definisi zakat sebagai hak (kadar tertentu) yang
diwajibkan untuk dikeluarkan dari harta tertentu untuk golongan yang tertentu
dalam waktu yang tertentu pula.
5)
Dalam Kifayatul Akhyar dijelaskan nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah
mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan
diberi kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
6)
Menurut Al-Syarkoni seperti yang dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy, mengatakan
bahwa zakat adalah memberikan sebagian harta yang cukup nisab kepada orang
fakir dan sebagainya yang tidak berhalangan secara syara’.[13]
Secara umum, dapat
dipahami bahwa zakat adalah penyerahan atau penunaian hak dan kewajiban yang
terdapat dalam harta untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya
sebagaimana yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60.
*
$yJ¯RÎ) àM»s%y‰¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur
$pköŽn=tæ
Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% †Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏBÌ»tóø9$#ur †Îûur È@‹Î6y™ «!$# Èûøó$#ur
È@‹Î6¡¡9$# (
ZpŸÒƒÌsù
šÆÏiB
«!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒO‹Å6ym ÇÏÉÈ
60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
G. ZAKAT SEBAGAI
PEMBERDAYA EKONOMI UMMAT
Zakat merupakan
sesuatu yang tidak asing lagi terdengar di telinga kita sebagai masyarakat
muslim, bahkan zakat tersebut merupakan
sesuatu yang sakral dan wajib diaplikasikan bagi setiap masyarakat muslim yang
mampu. Setiap 2,5 % (minimalnya) dari harta yang dimiliki setiap orang mampu
(kaya) wajib dikeluarkan kepada yang membutuhkan, karena di 2,5 % itu bukan hak
dari si pemilik harta. Harta tersebut merupakan hak bagi masyarakat yang
membutuhkan. Zakat tersebut bisa merupakan zakat yang dapat dikonsumsi langsung
(Zakat Konsumtif) maupun Zakat yang tidak berhenti di konsumsi, tetapi justru
Zakat yang berbentuk investasi dan terus diproduksi (Zakat Produktif). Yaitu
berupa pendidikan bagi anak yang kurang mampu, penyuluhan-penyuluhan di daerah
miskin, pemberian modal usaha bagi si penerima zakat, dll.
Ternyata, tidak salah bahwa Islam telah
mensyari’atkan Zakat bagi umatnya yang mampu untuk dilaksanakan. Faktanya,
zakat sangat berperan bagi pembangunan ekonomi masyarakat modern ini. Disamping itu pula, zakat sangat
berperan terhadap distribusi kesejahteraan masyarakat.[14]
Distribusi kesejahteraan masyarakat tersebut dapat digambarkan melalui
Equilibrium (Keseimbangan) Pasar.
Ditinjau dari
fungsinya, Zakat memiliki 2 peran yang sangat penting :
a. Zakat berfungsi untuk mengurangi tingkat pendapatan yang
siap dikonsumsi oleh segmen orang kaya (muzakky). Oleh karena itu,
pengimplementasian zakat diharapkan akan mampu mengerem tingkat konsumsinya
orang kaya sehingga kurva permintaan segmen kaya tidak terlalu meningkat
terlalu tajam. Hal ini pada akhirnya akan memiliki dampak positif, yaitu
menurunnya dampak atas peningkatan
harga-harga komoditas.
b. Zakat berfungsi sebagai media transfer pendapatan
sehingga mampu meningkatkan daya beli orang miskin. Dalam hal ini diharapkan
dengan menerima zakat, maka segmen miskin akan meningkatkan daya belinya sehingga mampu berinteraksi dengan segmen
kaya.[15]
Sekarang
yang menjadi pertanyaan adalah, apakah zakat konsumtif akan menumbuhkan
perekonomian ? Apakah zakat konsumtif akan menimbulkan dampak yang leih baik
dibanding zakat produktif ? Mari kita lihat
dasar analisis berikut.
Pembayaran Zakat pada tahap pertama akan
menurunkan permintaan orang kaya dari DH1 menuju DH2. Turunnya permintaan ini
akan diterima oleh orang miskin sehingga akan berpengaruh terhadap pasar segmen
miskin. Jika zakat diterima dalam bentuk barang konsumsi, maka permintaan
permintaan orang miskin akan dari Ds1
menuju Ds2 sehingga akan mendorong harga di segmen meningkat. Namun, jika zakat
diterima dalam bentuk modal kerja atau produktif, maka penawaran segmen miskin
akan meningkat dari Ss1 menuju Ss2. Jumlah permintaan segmen kecil akan
meningkat lebih kecil namun diikuti oleh harga yang menurun. Dari gambaran ini
dapat disimpulkan bahwa zakat konsumtif aupun zakat produktif akan meningkatkan
pertumbuhan perekonomian selama penurunan permintaan segmen kaya (XH1-XH2) akan
diimbangi oleh peningkatan volume perdagangan segmen miskin(Xs3-Xs0) yang lebih
besar Hal ini dipengarui oleh :
1.
Kepekaan konsumen miskin terhadap harga barang.
Semakin konsumen miskin peka atau elastis terhadap harga, maka zakat produktif
akan memiliki dampak inflasioner lebih rendah dan peningkatan output lebih
tinggi daripada zakat konsumtif.
2.
Hubungan antara harga dan penjualansegmen
miskin. Semakin elastis penawaran segmen miskin, maka semakin tinggi efek zakat
konsumtif terhadap penigkatan output daripada zakat produktif.
3.
Hasrat untuk konsumsi segmen miskin. Hasrat ini
menunjukkan seberapa besar bagian pendpatan yang akan dikonsumsi dan bisa
dicerminkan dari nilai elastisitas permintaan terhadap pendapatan. Semakin
elastis permintaan terhadap pendapatan berarti tambahan pendapatan segmen
miskin akan dihabiskan untuk konsumsi, dan hal ini semakin meningkatkan
besarnya efek zakat konsumtif.
Dari gambaran ini, tidak selalu zakat produktif
memiliki efek terhadap perekonomian yang lebih baik, hal ini terutama dipengaruhi
oleh perilaku ekonomi masyarakat mustahiq.[16]
G.
KESIMPULAN
Secara umum umat Islam
mengharapkan agar pelaksanaan zakat dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya
berdasarkan syari’at Islam. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah
termasuk ulama dan ilmuwan agar implementasi zakat terlaksana.
Untuk itu sebenarnya
konsep operasional penerapan zakat, dapat dijadikan contoh dan terus
dikembangkan pada masa sekarang, serta diaktualisasikan sesuai dengan
pertumbuhan dan tuntutan masyarakat.
Dengan memberdayakan zakat
secara optimal (mulai dari pemetaan data muzakki, pencatatan muzakki,
pengumpulan dana/benda zakat, pendistribusian dana/benda zakat, pemetaan dan
pencatatan penerima zakat) yang selalu diupdate, insya Allah masalah
perekonomian khususnya tentang kemiskinan finansial masyarakat kita akan
mendapat enjeksi solutif, sehingga kita akan melihat lahirnya masyarakat yang
sejahtera dari sisi ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Ensklopedia Ekonomi, Keuangan dan
Perdagangan, Jakarta, Peradnyo Paramita, Tahun 1991.
Ariswanto, Buku Pintar Teori Ekonomi, Jakarta
: Penerbit Aribu Mitra Mandiri, Tahun 1997.
http://www.salafy.or.id
Husain, Abdullah, Abdul At-Tariqi, Ekonomi Islam
Prinsip Dasar dan Tujuan, Yogyakarta, Magistra Insania Press, Tahun 2004.
Wahba Al-Zahayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab,
Bandung PT Remaja Rosda Karya Tahun 1997.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam
UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, Jakarta, PT Rajawali Pers, 2009.
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor, Pustaka
Litera Antar Nusa, Tahun 2004.
[1]
Ariswanto, Buku Pintar Teori Ekonomi, Jakarta : Penerbit Aribu Mitra
Mandiri, Tahun 1997. Hal : 35
[2]
Abdurrahman, Ensklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, Jakarta,
Peradnyo Paramita, Tahun 1991. Hal : 14
[3]
Ariswanto, Buku Pintar Teori Ekonomi, Jakarta : Penerbit Aribu Mitra
Mandiri, Tahun 1997. Hal : 40
[4]
Abdullah Abdul At-Tariqi Husain, Ekonomi Islam Prinsip Dasar dan Tujuan, Yogyakarta,
Magistra Insania Press, Tahun 2004. Hal : 20
[5] Ibid, Hal : 21
[6] Ibid, Hal : 23
[7] Ibid, Hal : 27
[8] Yusuf
Qardawi, Hukum Zakat, Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, Tahun 2004. Hal
: 15
[9]
Abdullah Abdul At-Tariqi Husain, Ekonomi Islam Prinsip Dasar dan Tujuan,
Yogyakarta, Magistra Insania Press, Tahun 2004. Hal : 7
[10] Ibid,
Hal : 30
[11]
Sumber : http://www.salafy.or.id
[12]
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, Tahun
2004. Hal : 21
[13]
Wahba Al-Zahayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung PT Remaja Rosda
Karya Tahun 1997. Hal : 29-31
[14] Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta, Ekonomi Islam,
Jakarta, PT Rajawali Pers, 2009. Hal : 404
[15] Ibid,
Hal : 405
[16] Ibid,
Hal; 407-408
0 komentar:
Posting Komentar